Langsung ke konten utama

Berhaji; Rawan dihinggapi 3 sifat ini



Umat Islam dibelahan dunia manapun, menginginkan berhaji. Sebagian mereka percaya bahwa orang yang sudah melakukan ibadah ini berarti sudah purna dalam melakukan semua ibadah pokok  atau pilar-pilar ibadah yang diperintahkan oleh agama (hadist Ibnu Umar ra). Bukan hanya itu, karena ibadah haji adalah ibadah yang membutuhkan kemampuan fisik dan finansial sehingga bagi sebagian orang melakukannya merupakan sebuah kebanggaan. Meskipun dalam hadist lain dijelaskan ketika belum mampu berhaji maka ada alternatif yang bisa dilakukan yaitu dengan melakukan salat jumat dengan baik maka pahalanya akan sama dengan orang yang berhaji.

Kalau kita tilik sejarah, berhaji adalah ibadah yang pertama kali disyariatkan kepada Nabi Adam As (QS. Ali Imran ; 96), kemudian  Nabi Hud As dan Nabi Saleh As (Hadist Ibnu Abbas) kemudian kepada Nabi Ibrahim As dan Nabi Ismail As (QS. Al-Hajj ; 26-28). dalam rangka mengenang slide kehidupan, sebagai demonnstrasi simbolis dan falsafah penciptaan makhluk pertama Nabi Adam As, sehingga ibadah haji bukan sekedar ibadah jasmani tapi juga ibadah ruhani, mulai dari, Tawaf, Sa’i,  lempar jumrah, mabit, dll, meskipun kemudian di era jahiliyah berubah dan beralih menjadi sebuah ajang seremonial yang diisi dengan perlombaan membaca syair, puisi, bersiul dan melakukan kegiatan di luar dari apa yang diperintahkan pertamakali, mengisi ka’bah dengan berbagai berhala, dindingnya ditulisi syair Arab dengan berbagai tema, mulai dari ratapan, perempuan, kebersahajaan, heroik dan kepahlawanan sampai datang Nabi Muhammad Saw, dan pada tahun ke 6 hijriyah baru ibadah Haji ini di syariatkan kembali.

Nabi Muhammad Saw memerintahkan untuk melakukan ibadah ini dengan dengan penuh kehati-hatian, tidak hanya dianggap goal ketika bisa memenuhi syarat dan rukun yang sudah dijelaskan oleh al-Quran dan al-Hadist, tapi juga harus menjaga diri dari sifat-sifat yang dilarang selama melakukannya. 

Dalam surat al-Baqarah 197 ada 3 sifat yang rawan hinggap kepada orang yang berhaji, dalam keadaan biasa, mungkin orang akan mampu menahannya tapi ketika akan melaksanakan haji, 3 sifat ini seolah naik level, sehingga di nash dalam al-Quran agar diperhatikan.

Pertama: Rafats

Dalam terminologi Arab dikatakan bahwa Rafats adalah kegiatan yang mengarah pada terjadinya Jimak, baik berupa ucapan semisal rayuan, kata-kata mesra atau perbuatan. Orang yang berhaji memiliki kecenderungan yang lebih mengenai hal ini, entah itu kepada istrinya atau bahkan kepada orang lain. Seolah-olah ada dorongan kuat untuk melakukannya. Sehingga Allah Swt mewanti-wanti agar sifat ini dijauhi. Bahkan sahabat Ibnu Abbas mengatakan “Tidaklah sah orang yang berhaji lalu kemudian melakukan Rafats”.

Sehingga dalam literatur fikih, apabila dalam proses melaksanakan ibadah haji, sampai terjadi jimak maka tidak sah hajinya, apabila hanya sampai pada permulaannya, seperti mencium atau menyentuh maka  dia terkena Dam atau denda dengan menyembelih unta yang besar.

Kedua : fusuq

Adalah segala macam perbuatan yang keluar dari ketaatan kepada Allah Swt. Dalam hal ini kemaksiatan, apapun jenisnya, kemaksiatan sangat dilarang Allah Swt terlebih lagi ketika dalam keadaan berhaji. Kerena kemuliaan tempat dan waktunya. Makkah dan Madinah yang merupakan tempat mulia, bulan Haji yang juga merupakan bulan mulia.

Ketiga : Jidal

Adalah perbuatan yang mengarahkan kepada permusuhan atau cek-cok dengan orang lain, ketika sedang berhaji, akan ada saja hal yang membuat kita merasa terusik sehingga memberikan dorongan yang berlebih untuk kemudian melakukan perbuatan ini.

Allah Swt menyuruh kita agar menahan diri dari sifat-sifat yang sudah dijelaskan, Rafats, Fusuq, dan Jidal. Dalam memberikan dalilpun Allah Swt bukan dengan menggunakan sighat Nahyi; sekedar larangan kepada orang yang melakukan, akan tetapi dengan menggunakan La linafyil jins ; yang bermakna meniadakan sama sekali sifat-sifat tersebut. Bukan hanya sifatnya yang jelas, akan tetapi semua yang berkaitan, baik permulaan, yang dibayangkan, niat atau bahkan baru terbesit. Allah Swt sudah melarang untuk melakukannya. Tujuannya tentu, agar ibadah haji yang dilakukan bersih dan murni ibadah kepada Allah Awt. Karena pahala yang dijanjikan Allah Swt sangat luar biasa terhadap ibadah ini, maka treathmentnya pun perlu ekstra dalam melakukannya.

Semoga kita semua diberikan rezeki untuk bisa melakukan ibadah haji, berziarah kepada Baginda Nabi dan mengunjungi Makah serta Madinah sebagai kota suci. Amiin ya rabbal ‘alamin.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

  Seni syair Arab (Bag. 1). Ketika kita ingin memngetahui sejarah syair arab maka akan lebih mudah jika kita membaginya kedalam beberapa fase. MASA JAHILI Syair arab yang sampai kepada kita dan dikenal sekarang sudah melewati masa yang panjang. Umurnya lebih tua dari syariat Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw. Dalam perjalanannya syair arab selalu memiliki tempat yang istimewa. Dengan bukti bahwa sebelum Islam lahir di Kota Mekah, dinding Ka’bah dihiasi dengan syair dari pujangga-pujangga ternama di eranya ( Muallaqat ). Pada masa Tabrizy ada sepuluh penyair muallaqat yakni: Umrul Qais, Nabighah, Zuhair, Tarfah, Antarah, Labid, Amru ibn Kulsum, Al-Haris ibn Hilza dan Abidul Abros. Seluruh hasil karya dari kesepuluh orang penyair itu semunya dianggap hasil karya syair yang terbaik dan sudah melewati seleksi yang sangat ketat dari karya syair yang pernah dihasilkan oleh bangsa Arab. Mengapa pada saat itu syair begitu tinggi kedudukannya? Pada masa jahiliah itu tradisi k

Resolusi

 Antara resolusi dan pembatasan takdir. (?) re·so·lu·si /rĂ©solusi/ n putusan atau kebulatan pendapat berupa permintaan atau tuntutan yang ditetapkan oleh rapat (musyawarah, sidang); pernyataan tertulis. tak·dir n 1 ketetapan Tuhan; ketentuan Tuhan. Dalam perkembangannya, resolusi digunakan untuk makna keinginan atau harapan yang harus dicapai diwaktu yang akan datang. Memiliki resolusi dalam hidup penting, untuk membuat hidup kita lebih terarah, bisa menemukan fokus yang benar. Sehingga apa yang perlu dilakukan dalam hidup bisa terlaksana dengan baik, kemana arah yang harus di tuju bisa dicerna. Tapi memiliki resolusi, apakah tidak mengkotak-kotakan takdir? Artinya dengan adanya resolusi kita hanya berharap takdir kita sesuai dengan yang kita inginkan. Tidak mau jika tidak sesuai dengan keinginan tsb. Tapi bukankah hanya tuhan yang tahu segala macam yang ada didepan? Mungkin iya, dengan resolusi seolah kita hanya menginginkan takdir itu terjadi. Tapi juga, tidak. Karena tuhan pun akan